Manajemen Resiko - Risiko Manajemen

Entah karena semua sudah menyadari arti risiko atau hanya sekadar mengikuti trend internet, tiba-tiba istilah manajemen risiko berkumandang di khazanah bisnis Tanah Air. Para Konsultan dan pelaku event organizer seminar ataupun workshop lalu menawarkan "ilmu mutakhir" itu untuk diterapkan di entitas bisnis.Di negara maju, ilmu ini sebetulnya sudah beken sejak 15 tahun lalu. Hasil riset George Allayannis dan James Watson (1990-1995) dari Universitas Virginia, menyimpulkan bahwa manajemen risiko akan meningkatkan nilai perusahaan sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan biaya modal dan mengurangi ketidakpastian aktivitas sosial. Kita tahu, manajemen risiko terkait dengan good cor-po-rate governance (GCG). Prinsip transparansi dalam GCG menuntut diterapkannya enterprise-wide risk management. Penerapan manajemen risiko oleh perusahaan ini bertujuan mengidentifikasi risiko perusahaan, mengukurnya dan mengatasinya pada level toleransi tertentu.

Manajemen Risiko

Risiko memang selalu muncul dalam keseharian kita. Dan itu bisa saja tidak terprediksikan jika kita tidak pernah tahu polanya. Sejatinya, risiko terbagi menjadi dua kelompok besar: risiko alamiah dan risiko yang berasal dari kegiatan manusia. Dari dua kelompok tersebut, diketahui bahwa risiko bersifat dinamis dan memiliki interdepensi satu sama lain.
Dinamisme sifat risiko itu harus diantisipasi sejak awal. Alvin Toffler menulis, "the illiterate of twenty first century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn." Jadi, kata Toffler, para pelaku bisnis harus mencatat setiap pengalaman dan mempelajari timbulnya risiko-termasuk frekuensi dan aktivitasnya-untuk diregistrasikan sebagai pola risiko bagi entitas bisnis tersebut. Perusahaan yang sudah menerapkan manajemen risiko seutuhnya berarti sudah mampu meninggalkan kawasan comfort zone.

Banyak perusahaan yang mengaku telah menerapkan manajemen risiko. Padahal, manajemen perusahaan tersebut belum mampu mengelola seluruh akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia di dalamnya.

Boleh jadi, kegagalan itu terjadi lantaran hanya kalangan top management yang sudah menjalankan manajemen risiko. Level junior management biasanya masih bersemangat karena usia yang masih muda, peluang karir yang masih besar, dan bekal pendidikan yang masih segar. Masalahnya, para personel di level middle management cenderung malas-malasan. Ini jelas fatal. Ibarat tim sepak bola, walaupun pemain belakangnya sekelas Franz Beckenbauer semua dan semua pemain depannya selevel Pele, tim itu tetap akan mendapat masalah besar jika para midfielder-nya dipasok oleh PSSI. Dan itulah yang sering terjadi di semua perusahaan di Indonesia, ketika sebagian personel yang posisinya cukup menentukan merasa sudah tahu banyak, enggan menerima perubahan, apalagi menerapkan manajemen risiko.

Tak heran jika manajemen risiko gagal diterapkan lantaran ada penggembosan oleh personel di level middle management. Yang muncul dari kasus seperti ini justru adalah membesarnya risiko manajemen.

Lebih celaka lagi jika ada perseteruan terselubung karena kepentingan kelompok-yang kadang terkait dengan pihak di luar perusahaan. Kalau sudah begitu, maka si pemimpin perusahaan sedang menghadapi risiko manajemen. Ia bisa mendapati karirnya berakhir dengan pemecatan. Atau, bisa juga mampir di meja hijau lantaran masalahnya disangkutpautkan dengan delik pidana. Dalam pergesekan yang keras di sebuah perusahaan (termasuk BUMN), kasus semacam itu sudah sering terjadi.

Ironisnya, gejala disharmoni di suatu perusahaan acap kali sudah tercium oleh para pemegang saham. Tapi, entah pemegang saham terlalu sibuk atau tidak begitu peduli atas kejadian di perusahaannya, mereka sering membiarkan risiko tersebut membesar dan sulit dikendalikan.
Alhasil, sudah waktunya penerapan manajemen risiko dimulai dari kalangan shareholders sendiri. Pemegang saham seharusnya tidak hanya bernafsu mendapatkan dividen serta value saham yang paling oke. Para shareholders pun harus memahami bahwa manajemen risiko itu bersifat holistic dan integrated, melibatkan mereka sendiri. Mereka harus memainkan peran yang pas, proporsional, bertindak cepat, dan membuka peluang serta kebijakan bagi manajemen perusahaan untuk bisa bersaing dalam same playing field dengan perusahaan lain.

Tanpa itu, manajer sekaliber Bill Gates, Fujio Cho, atau Lee Iacocca pasti juga tak akan mampu mempertahankan kesinambungan usaha dalam entitas yang dipimpinnya.